Kamis, 30 Juli 2015

Kisah Sukses 5

Kisah Sukses Sunarno, dari Pemulung menjadi MilyarderBapak Sunarnonamanya, ia adalah mantan pemulung yang sekarang menjadi orang kaya berkat ketekunannya menjalankan bisnis MLM Forever Young Indonesia. Dulu ia mencari nafkah dengan mengais-ngais sampah. Kini ia jadi jutawan MLM karena mensukseskan orang lain.
Jangan sekali-kali meremehkan profesi seorang pemulung. Lewat bisnis MLM nya, pemulung ini bisa jadi jutawan. Setidaknya begitulah yang dialami Sunarno“Saya sendiri tidak membayangkan, setelah menemukan usaha ini ternyata kok lebih cepat daripada rekan-rekan yang lebih mapan dan berpendidikan,” tutur pria kelahiran Solo, 5 Agustus 1961 ini. Tentunya berkat satu hal. Kerja Keras.
Prestasi yang diraihnya memang paling cepat dibanding yang lain. Hanya dalam kurun 27 bulan, ia berhasil menempati peringkat Senior Network Director, posisi tertinggi di Forever Young MLM. Jaringannya kini sudah lebih dari 100 ribu orang, tersebar di seluruh Indonesia. Seiring dengan itu, penghasilan di atas Rp15 juta per bulan, sepeda motor, mobil, rumah, dan berbagai bonus wisata ke luar negeri telah dinikmatinya.
Lantaran lahir dari keluarga miskin, Sunarno hanya bisa menamatkan SD. Lebih prihatin lagi, sejak kecil ia sudah yatim piatu. Terpaksa ikut orang ke beberapa kota, jadi kacung untuk sekedar bisa hidup. Tapi itu tidak lama dilakoni. Ketika kembali ke Solo, akhirnya ia memilih profesi pemulung. Kok jadi pemulung? “Saya bosan jadi kacung yang selalu disuruh-suruh orang. Jiwa saya ingin kebebasan,” jawabnya.
Tinggal di daerah kumuh yang berjarak 500 meter dari tempat pembuangan sampah. Pekerjaannya mengais-ngais sampah, mengumpulkan barang bekas. Plastik dan kardus jadi incarannya. Setiap hari ia bersama teman-teman menanti datangnya truk sampah. Begitu mobil pembawa rejeki tiba, mereka berlarian mendekat, lalu berebut barang-barang bekas – siapa cepat, dia dapat. “Apalagi yang namanya balung (tulang sapi). Itu ibarat emas bagi kami. Nilainya tinggi kalau dijual,” jelas ayah dua anak ini.
Ia sendiri pernah merasa amat bahagia sewaktu mendapatkan bonggol kubil (kol). Soalnya “benda berharga” itu didapatnya setelah mengalahkan beberapa saingan. Lewat “kompetisi” yang ketat ia berhasil mendapatkannya. “Hati saya bangga dan puas karena itu suatu prestasi,” katanya tersenyum. Ada satu hal lagi yang membahagiakan hatinya, yaitu saat menyetel radio tatkala masih hidup di kolong jembatan.“Sayangnya tak terkira, sama bahagiannya dengan orang naik Mercy atau Volvo,” tambah ayah tiga anak ini.
Sinar terang perubahan hidup mulai tampak pada 1994, ketika tetangganya memperkanalkan bisnis MLM. Hampir tiap hari tetangga sebelah bercerita, walau kadang-kadang ia tidak menangkap maksudnya. Maklum cuma lulusan SD. Jangankan ngerti, untuk hafal nama MLM yang berbahasa Inggris itu saja susah banget.“Seminggu belum hafal,” katanya tertawa. “Tadinya saya nggak mikirin. Tapi lantaran sering dengar dan lihat, lama-lama hafal juga.”
Kuncinya Yakin
Setelah belajar dan ditempa dalam berbagai training dan seminar, dalam hatinya timbul keyakinan. Mulailah ia menjalani bisnis MLM sepenuh hati. Pagi hari, sesuai profesi, ia cari barang-barang bekas. Siangnya, setelah
mandi, pergi memprospek orang.
Di usaha apa saja pasti ada tantangan. Sunarno pun begitu. Dibilang ngeyel atau mimpi, itu masih halus. Soalnya, ada yang mencercanya bagai cicak makan tiang. Namun itu tidak mengecilkan hatinya, sebab sejak kecil ia sudah terbiasa dengan kompetisi dan tantangan. “Itulah yang mendorong saya untuk maju. Orang gagal itu biasanya engga mau menghadapi tantangan. Kalau engga siap mental, yang paling mudah dilakukan adalah berhenti,” kata pria yang gemar bertani ini.
Menurut Sunarno, kunci keberhasilannya hanya satu: keyakinan. Sebab keyakinan itu seakan-akan kenyataan. Ia tumbuh dari penguasaan materi dan belajar dari orang-orang sukses. Bila ingin sukses, bergabunglah dengan orang-orang sukses, minimal ketularan. Motivasinya dalam berusahan sederhana saja: kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak bisa. Pasti bisa!
Lucunya, dulu karena tinggal di tempat kumuh, sebagian orang belum mau menerima ajakannya. “Kalau kamu berhasil, baru saya mau ikut,” kata mereka. Namun setelah berhasil, Sunarno menagih janji. Mereka menjawab,“Lha iya, terang saja Pak Narno sekarang sudah berhasil kok.” Jadi lagi-lagi saya yang disalahkan, katanya sembari tertawa kecil. “Itu soal mental. Semua itu kembali ke pribadi masing-masing.”
Bila teringat kehidupan masa lalu, Sunarno masih diliputi rasa haru. Jadi ketika dapat fasilitas rumah dari MLM,Sunarno sengaja memilih di Mojosongo, daerah yang ia huni dulu agar tidak lupa pada sejarah. Tapi bila dulu orang meremehkannya, sekarang lain, “Kalau lingkungan butuh sesuatu, saya yang lebih dulu dimintai sumbangan,” ujarnya.
Kesan dan Pesan
Kehidupan itu, menurut Sunarno, ibarat tiada gelombang yang indah tanpa menerjang karang. Banyak orang mendambakan hidup aman, damai, tenteranm, bahagia dan sejahtera. Hidup seperti ini ideal sekali. “Bagi saya hidup itu sederhana saja, minimal kita punya cita-cita, yaitu sukses dalam segala bidang. Tapi untuk itu diperlukan tindakan, rencana, tujuan, komitmen, keyakinan, mengenal diri, dan cinta. Itu semua merupakan mata rantai yang tak terpisahkan.”
Sebelum berpisah, ia berpesan kepada rekan-rekan dalam jaringannya dan untuk semua orang pada umumnya agar tidak gampang menyerah, siap dikritik, semangat menyala-nyala, selalu berjuang, rela berkorban, dan berdoa. Beranilah mengambil keputusan, karena keputusan itulah langkah awal sukses.” 
Kesimpulan
Dari kisah hidup pak sunarno ini saya bisa mendapat pelajaran yg berharga.bahwa untuk meraih sesuatu yg kita harap kan kita harus terus berjuang untuk meraih apa yang kita ingin kan dan bahwa kita harus juga mengingat roda kehidupan itu juga berputar. 

Kisah Sukses 4


Kisah Sukses Bambang Haryono, mengubah Pohon Asem menjadi Barang BernilaiUsaha kerajinan tangan kayu pohon asam sudah di geluti selama tiga tahun silam, Bambang Haryono melihat ada kekhasan unik pada pohon asam. Menggeluti usahanya itu, Bambang lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat Banyuwangi daripada menggunakan tenaga mesin.
Pohon asam selama ini dianggap tidak memiliki nilai ekonomi tinggi, alias cuma untuk arang. Namun Bambang Hariyono, seorang penggiat UMKM kerajinan asal Banyuwangi, kayu pohon asam bisa disulap menjadi barang yang berguna dan menghasilkan uang.
Melihat adanya Potensi bagus, akhirnya Bambang Haryono berbekal keinginan yang kuat, Bambang kemudian menjadikan pohon asam sebagai kerajinan tangan, termasuk limbahnya yang dijadikan ornamen furnitur yang berkelas internasional.
“Kayu pohon asam menurut saya unik, seperti memiliki ciri yang khas dan juga tiap potong yang dibuat tidak akan pernah sama. Maka yang banyak minat untuk produksi kayu asam ini Eropa dan Amerika,” kata Bambang yang ditemui di workshop ‘Oesing craft’ miliknya, Banyuwangi.
Kisah Sukses Bambang Haryono, Pohon Asem menjadi Barang BernilaiDan saat ini Perusahaannya telah memiliki lebih dari 250 pegawai yang dirangkulnya untuk membuat kerajinan kayu. Tenaga kerja itu direkrut dari berbagai kecamatan, yaitu Glagah, Kalipuro, Kabat. Bahkan Bambang juga kerjasama dengan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat maupun lembaga pemasyarakatan (lapas) di Banyuwangi.
“Kita rangkul lapas agar napi-napi juga punya ketrampilan selama di dalam,” kata Bambang. Selain itu, Bambang juga memiliki anak cabang yang ada di Situbondo, Jember, dan Pasuruan. Kerajinan milik bambang ini beraneka ragam, seperti tablewear, mangkok, guci, tempat makan, dan tempat perhiasan.
Dengan Kegigihan Bambang, produk kerajinan asal banyuwangi ini telah beredar ke berbagai negara, seperti Swiss, Belanda, Jerman, Amerika, Jepang, Hong Kong, Singapura, dan Malaysia. Tak heran jika tiap bulan omzet yang didapat mencapai Rp 1 miliar.
Kisah Sukses Bambang Haryono Pohon Asem menjadi Barang BernilaiOesing craft bahkan sudah dikontrak oleh perusahaan besar asal Jepang untuk membuat kerajinan kayu. “Berapa pun yang kita produksi, mereka siap menerima. Bahkan untuk pengiriman ke Jepang itu ada batas minumum jumlah,” kata Bambang bangga.
Karena keuletan dan kegigihan itu, berbagai penghargaan telah diraih, seperti penghargaan dari Unesco Award of Excellence for Handycraft pada 2012 lalu untuk wilayah Asia Tenggara.
Selain itu juga meraih piagam penghargaan SMESCO Award Tahun 2009, Juara 2 Desain Cindera Mata Jatim 2009, Prabaswara Award di bidang Ekspor 2012, dan berbagai penghargaan bidang kerajinan serta pemberdayaan masyarakat.
“Kita tetap mengutamakan kualitas dari kerajinan yang kita buat. Saat pesanan banyak, kita tidak boleh lengah untuk mengutamakan kualitas tiap piece-nya. Kalau kualitas jelek, pasti konsumen lari, apalagi Jepang yang selalu teliti barang yang kita kirim”, tandas Bambang yang juga memiliki impian melatih para mantas PSK di Dolly untuk bisa memiliki ketrampilan membuat kerajinan dari pohon kayu ini.

Kisah Sukses 3

Kisah Sukses Deny menjual Kek Pisang Villa 3Tahun 2006, ia berhenti dari pabrik dan menjadi wirausaha. Sepanjang tahun itu, ia mencoba berbagai jenis usaha. ”Prinsipnya, saya mencari usaha yang arus kasnya harian. Saya mencoba sembilan jenis usaha dari berjualan kue, membuka rumah makan, sampai menjadi EO (event organizer),” ujarnya.
Sampai tahun 2006, Denni Delyandri (32) menjadi karyawan dengan penghasilan maksimal Rp 2,5 juta per bulan. Kini, ayah tiga anak itu menjadi direktur perusahaan beromzet harian rata-rata Rp 100 juta.
Rezeki itu ia bagi dengan 220 karyawan di Batam, Kepulauan Riau, dan Pekanbaru, Riau. Suami Selvi Nurlia itu juga membagi rezeki itu dengan sedikitnya 80 UKM yang bermitra dengan perusahaannya, CV Media Kreasi Bangsa (MKB).
Lewat perusahaan itu, Denni menjual Kek Pisang Villa di Batam dan Viz Cake di Pekanbaru. CV MKB membuka delapan gerai di penjuru-penjuru Batam untuk memasarkan aneka produk Kek Pisang Villa.
Sementara di Pekanbaru ada empat gerai memasarkan Viz Cake. Selain Kek Pisang Villa dan Viz Cake, gerai-gerai itu juga menjual aneka produk UKM mitra CV MKB. ”Saya menyiapkan perusahaan baru untuk memudahkan ekspansi usaha,” ujar Denni.
Kisah Sukses Deny menjual Kek Pisang Villa 1Pencapaian Denni tidak dalam semalam. Ia giat berdagang aneka produk buatan sendiri sejak masih menjadi karyawan. Namun, hasilnya tidak maksimal. Denni juga harus berkonsentrasi dengan pekerjaan di pabrik. Selain itu, modalnya juga tidak banyak.
Februari 2007, ia dan istri mulai membuat bolu pisang dengan nama Banana Cake. Selvi mengurusi produksi dan Denni memasarkan. ”Kami mencoba berbagai resep makanan. Kebetulan istri hobi memasak. Setelah mencoba berbagai jenis, cake pisang ini yang paling diterima pasar,” ujarnya.
Mereka memulai usaha dari rumah sederhana di kawasan Batu Aji di pinggiran Batam. Alat produksi awalnya adalah mesin pengaduk kecil, kompor minyak tanah, dan oven kecil. ”Kami memulai dengan 2 kilogram pisang sehari. Rata-rata dibuat 40 kotak kue sehari karena kapasitas produksi terbatas,” tutur alumnus Universitas Andalas, Padang, itu.
Sebagian kue itu dipasarkan dalam bentuk potongan ke warung-warung. Sebagian lagi dipasarkan dalam bentuk utuh dari pintu ke pintu. ”Saya memasarkan ke tetangga, kenalan, atau kantor. Saya membuat brosur yang dibagikan di pabrik-pabrik,” ujarnya.
Hampir lima bulan Denni melakukan pola itu. Selama proses itu, ia melihat banyak wisatawan datang ke Batam, baik transit maupun berwisata di Batam. Namun, Batam belum punya oleh-oleh khas. ”Kota lain punya makanan khas sebagai oleh-oleh. Yogya punya bakpia, Bandung dengan brownies,” ujarnya.
Kisah Sukses Deny menjual Kek Pisang Villa 2Juli 2007, Deni membuat keputusan, mengubah nama produk dan meminjam uang untuk tambah modal. ”Kami mulai pakai nama Kek Pisang Villa. Saya ambil pinjaman tanpa agunan Rp 40 juta. Sebagian untuk sewa ruko, sisanya untuk beli oven lebih besar, tambah kapasitas produksi,” ujarnya.
Ruko itu berada di bagian depan kompleks tempat Dennitinggal. Lantai satu dijadikan toko dan lantai dua dijadikan pabrik. Di lokasi baru, kapasitas produksi naik jadi 100 kotak per hari. ”Waktu itu, usaha mulai lebih lancar dan kami meningkatkan promosi untuk menjadikan produk sebagai oleh-oleh khas Batam. Pinjaman pertama saya lunasi dalam delapan bulan,” tuturnya.
Namun, usaha Denni tetap ditentang orangtuanya. Ia dan istrinya memang berasal dari keluarga tanpa dasar wirausaha. ”Saya masih disuruh mendaftar ke salah satu BUMN saat omzet sudah Rp 70 juta per bulan. Namun, saya teruskan jadi wirausaha,” katanya.
Tambah kapasitas
Juni 2008, Denni mendapat kredit usaha rakyat Rp 500 juta. Pinjaman tanpa agunan tersebut memungkinkan ia mengembangkan sayap. Ia menambah dua gerai di pusat kota dan satu lagi di kawasan pinggiran. Pabrik dipindahkan dari kawasan Batu Aji ke gerai baru di Batam Center. Pabrik itu memasok produk untuk gerai di Batu Aji, Penuin, Tiban, Nagoya, dan Bandara Hang Nadim.
Produknya makin dikenal dan jadi oleh-oleh utama di Batam. Wisatawan asing dan domestik kerap membawa Kek Pisang Villa sebagai oleh-oleh. Peserta acara-acara di Batam kerap membawa berkardus-kardus Kek Pisang Villa saat meninggalkan Batam.
Terkadang panitia membantu. Kerap pula peserta memburu sendiri di sejumlah gerai CV MKB. Denni juga mengirimkan tim penjual ke lokasi acara. Cara penjualan jemput bola itu dipertahankan sampai sekarang.
Kisah Sukses Deny menjual Kek Pisang Villa 4Dengan berbagai kombinasi pemasaran dan penjualan itu, sekarang rata-rata terjual 2.500 kotak per hari pada hari biasa. Pada musim liburan, gerai-gerai Denni bisa menjual hingga 3.500 kotak kue per hari. Dengan harga minimal Rp 35.000 per kotak, Denni meraup Rp 87,5 juta per hari dari penjualan kue saja, belum dari penjualan aneka produk UKM mitra CV MKB. ”Sekarang kami tidak beli pisang di pasar. Kami ambil pisang dari Medan, Sumatera Utara. Saya tidak ingat berapa ton per bulan,” tuturnya.
Pundinya tidak hanya terisi dari gerai di Batam. Tahun lalu, Denni melebarkan sayap ke Pekanbaru. Di sana, ia mengolah durian menjadi aneka jenis kue dengan merek Viz Cake. ”Durian bisa didapat kapan saja. Namun, belum ada produk olahan berupa kue durian. Saya masuk di celah itu,” ujarnya.
Dalam setahun, Viz Cake berkembang pesat. Kini, empat gerai dibuka di Pekanbaru dengan penjualan harian rata-rata 500 kotak.
Kini, Denni tidak lagi mengurus sendiri usahanya. Operasi sehari-hari diserahkan kepada profesional. Ia berkonsentrasi pada strategi pengembangan.
Meski sudah sukses, Denni tetap sederhana. Jika ke kantor, ia kerap hanya menggenakan kaus, celana jeans, dan sandal. Sepintas ia tak terlihat sebagai pengusaha muda dengan omzet rata-rata Rp 3 miliar per bulan

Rabu, 29 Juli 2015

Kisah Sukses 2

Mungkin Sebagian orang menganggap botol-botol bekas adalah sampah yang tidak berguna. Namun bagi Ratna Miranti botol bekas adalah barang yang sangat berarti.

Kisah Ratna Meraihkan Sukses dari Botol BekasIa mampu mengubah barang itu menjadi sesuatu yang amat bernilai. Sebagai seorang perajin lukisan di atas kaca, botol, gelas dan barang yang terbuat dari kaca lainnya.
Ratna mengawali karirnya sejak tahun 2009, bisnisnya dimulai dari sebuah kecelakaan. Ia sebelumnya berprofesi sebagai perajin batik. Ratna dulunya suka membatik. Tapi batik makin kesini makin banyak dan makin ketat. Akhirnya saya vakum 2 tahun karena mengurus anak,” tutur Ratna.
Ratna memutuskan untuk memulai usahanya lagi. Namun, pada saat ingin membeli bahan baku cat untuk batik, ia malah membeli cat untuk kaca. Ia pun iseng-iseng, mencoba melukis di atas kaca.
Saya salah beli, Malah beli untuk cat kaca. Tapi saya coba untuk buat di botol, di gelas. Ternyata temen-temen suka,” tutur Ratna.
Ratna Meraihkan Sukses dari Botol BekasNamun, kejadian itu tak serta merta membuat dirinya percaya diri untuk menumbuh kembangkan usahanya menjadi besar. Pada saat itu, Ratna masih menjual produknya berdasarkan pesanan konsumen.
“Saya bikin dulu, karena pada dasarnya saya hobi melukis. Waktu itu bertepatan sama Natal, jadi banyak pesanan bernuansa Natal. Pemasaran saya masih mulut ke mulut, di blog, atau bawa ke tempat ibu-ibu arisan,” papar Ratna.

Pameran Membawa Berkah

Barulah pada tahun 2010, genap setelah usahanya berusia 1 tahun, dia mendapat kesempatan untuk mengikuti pameran Inacraft di Jakarta. Disitulah kesempatan besar bagi Ratna untuk memperkenalkan produknya.
Untuk mengembangkan usahanya itu dia mendapatkan suntikan modal dari PT Permodalan Nasional Madani (PNM) melalui programnya yaitu Unit Layanan Mikro Madani sebesar Rp 50 juta.
“Untuk nambah modal. Biaya bahan baku dan yang lain,” ucapnya. Sampai saat ini, omzet yang didapat Ratna dengan produknya yang dinamai ‘Meerakatja’ ini mencapai Rp 30 juta/bulan. Padahal sebelum menjadi besar, dia hanya bisa meraup Rp 3-5 juta per bulan.
Kisah Ratna Meraihkan Sukses dari Botol Bekas1“Awalnya omzet Rp 3 juta, paling tinggi Rp 5 juta. Karena jualnya juga perorangan. Modal awalnya juga pertama Rp 500 ribu,” katanya.
Untuk urusan bahan baku, Ratna mengaku tak kesulitan. Ia pun sering memesan botol-botol bekas penjual jamu. Namun untuk catnya, Ratna menggunakan cat yang diimpor dari Jerman melalui distributor langganannya. Tak hanya melukis di atas botol, Ratna pun menerima pesanan untuk melukis interior rumah berbahan baku kaca, kaca cermin, vas bunga, gelas, tempat lampu, guci dan lain sebagainya.
“Harganya dari Rp 25 ribu hingga Rp 2,5 juta,” ucapnya. Produknya ini masih banyak tersebar di wilayah Jakarta dan Bandung. Beberapa produknya pun telah masuk pasar internasional. Namun, ia tidak secara langsung mengekspor produknya ke luar negeri, melainkan melalui perantara.
Kisah Ratna Meraihkan Sukses dari Botol Bekas2“Kalau yang namanya benar-benar ekspor sih belum. Tapi ada pesanan beberapa orang untuk tujuannya ke luar, Kanada, Jerman, tapi tetap Saya berhubungannya dengan orang Jakarta,” papar Ratna.
Sampai saat ini, Ratna memiliki 3 pegawai tetap yang bekerja sebagai pemberi warna pada karyanya. Urusan desain dan lukisan dasar, Ratna lah yang turun tangan. “Kalau pesanan lagi banyak, kita bisa sampai 15 orang,” cetusnya. Jika tertarik dengan hasil karya Meeraktja ini, anda bisa langsung datang ke Jalan Sangkuriang O-2, Bandung

Kisah Sukses 1

Dari bìdikan lensanya, berlembar-lembar rupiah dan networking dengan agensi-agensì foto terkemuka pun mengalir dengan derasnya.

Dewandra-Djelantik-3Kantornya tak begitu besar, berada dalam satu kompleks rumah pribadi dibilangan pulau Natuna Denpasar. Dari sanalah, seorang Dewandra Djelantik mengendalikan Bisnis Jasa Photography.
Orderan photoshoot berdering, aktivitas editing hingga perumusan konsep-konsep kreatif untuk project fotografinya pun mewarnai hari-hari Dewandra Djeiantik Photography.
Nama Dewandra sendiri mungkin belum terlalu familiar ditelinga orang awam, namun dimata para pencinta fotographi, model selebritis, expatriat di Bali, Dewandra Djelantik adalah salah satu fotografer paling berbakat yang pernah dimiliki Bali.
Namanya melejit di Dunia photography international lewat pameran dan publikasi foto – fotonya di beberapa Media kondang. Penelope Cruz, Tara Reid dan model-model tersohor dunia lainnya pun pernah ia abadikan dengan bidikan kameranya.
Pria Kelahiran 7 Desember 1977 ini sehari-harinya berkutat dengan berbagai kegiatan photoshoot untuk Fashion, Restoran, Hotel, produk, dan sebagainya.
Pangsa pasarnya yang membidik kalangan internasional membuat portofolio bisnis fotografi milik putra dariA.A Gede Sudewa Djelantik ini pun semakin kokoh dan menjanjikan.
Berawal dari sebuah hobi tanpa pendidikan formal tentang fotografi, alumni SMAN 1 Denpasar ini pun menekuni bidangnya secara otodidak dan terbukti berhasil Menguasai pasar fotografi kelas premium di Bali. Apa rahasianya?
Dewandra Djelantik pun membagi kisahnya tentang awal mula kewirausahaan di bidang jasa fotografi yang didirikannya tersebut, serta strategi jitu yang ia gunakan untuk tetap bisa survive di jalur passionnya tersebut.
Berikut petikan lengkapnya!
Jadi bagaimana ceritanya Anda bisa jatuh cinta dengan fotografi?
Saya begitu pertama ketemu dengan yang namanya fotografi itu seperti jatuh cinta pada pandangan pertama, hehehe. Dari SD sih saya sudah senang banget fotografi, tapi saya baru punya kamera pertama yang pocket itu sejaksaya SMP. Jadi ceritanya begini, saya memang dari kecil senang foto, karena pengaruh dari kakek saya yang juga hobi foto.
Dewandra-Djelantik-1Beliau kemana-mana menenteng kamera, sibuk sendiri dengan kameranya. Saya jadi tertarik melihatnya, karena sepertinya kok seru banget. Setelah kakek saya tiada, hobi fotografi ini diturunkan juga ke ayah saya. Ayah saya senang motret, tapi tidak sesenang kakek saya dulu, jadi akhimya saya yang malah sering ambil-ambil kamera Ayah dan saya pinjam. Sampai akhirnya , beliau menyadari bahwa hasil foto-foto saya lumayan bagus. Akhirnya Ayah membelikan saya camera pocket untuk saya sendiri. Saya juga setiap tahun melengkapi diri saya dengan kamera, baik meminjam punya Ayah, punya Kakek, atau milik saya sendiri.
Menurut Anda, apa yang menarik dari fotografi?
Saya senang fotografi karena dengan fotografi kita bisa merekam suatu momen dan kita bisa ingat terus. Momen itu kan, tidak akan pernah bisa terulang lagi, walaupun gerakannya persis sama dan tempatnya persis sama. Momen itu tidak akan ada yang sama. Dengan fotografi, kita bisa merekam dan mengabadikan momen itu. Inilah yang menjadi alasan, mengapa saya senang dengan fotografi, apalagi kalau saya bisa membuat suatu foto itu berbicara.
Awalnya Anda paling senang foto objek seperti apa?
Pertama saya paling senang foto makro. Jadi, saya senang foto sesuatu yang kecil begitu. Foto makro ini juga bisa memotret apapun yang ada di sekitar kita, jadi gampang. Selain itu saya juga senang memotret orang. Jadi saya foto bapak saya, ibu saya, adik-adik saya, bahkan sampai anak-anak asuh yang ada di rumah saya. Itu saja sih, objek-objek saya dulu. Sampai pada akhirnya waktu saya sekolah saya bertemu dengan teman-teman yang juga suka dengan fotografi. Dari sana kami mulai mencari objek-objek baru untuk difoto, misalnya landscape, human interest, dan sebagainya.
Sebelum berkarir di bidang fotografi, apakah Anda pernah mencicipi pekerjaan di bidang lain?
Dulu sebenarnya saya berbisnis di bidang komputer. Saya lulusan IT di Surabaya. dan akhirnya bergerak di bidang software disana. Saya pulang ke Bali sehabis menikah, terus terang dalam keadaan broke karena ditipu orang di Surabaya. Pertama saya di sini kasarnya jual pulsa, modem, macam-macam deh. Saya beli di Jakarta dan kemudian saya bawa pulang, jual-jual disini. Saat itu saya juga sering foto-foto, tapi belum dibayar.
Apa yang akhirnya membuat Anda memutuskan untuk menjadi Fotografer Profesional?
Setelah pulang ke Bali saya berpikir, mau mengerjakan apa ya habis ini?! Saat itu, bisnis komputer memang sudah mulai banyak. Saya jadi lumayan sering foto-foto untuk teman-teman saya, dan ternyata banyak yang suka. Sampai suatu saat, saya bertemu dengan orang Spanyol yang kebetulan memiliki beberapa hotel di sini.
Saya menunjukkan foto-foto saya ke beliau, dan beliau suka dengan foto-foto saya. Beliau mengusulkan saya jadi fotografer profesional saja. Pertama saya ragu, masa sih foto kayak begini laku? Beliau akhirnya menawarkan saya untuk mengambil beberapa foto untuk hotelnya yang ada di Bali. Setelah jadi, beliau sangat senang dengan hasilnya dan kembali mengusulkan saya agar saya menjadi fotografer profesional. Saya akhirnya memutuskan untuk mencoba saja.
Lalu bagaimana ceritanya ketika awal-awal memulai karir di bidang fotografi tersebut?
Dewandra-Djelantik-2Orang Spanyol yang mengusulkan saya menjadi fotografer itu kemudian mengajarkan saya macam-macam dan memberitahu saya tips-tips berguna untuk sisi bisnisnya. Beliau yang memberitahu saya, agar jangan pernah menjual murah. Kalau saya tidak yakin dengan kemampuan saya sendiri, lebih baik kasih gratis saja daripada kelihatan murahan.
Untungnya, saat itu saya masih ada kerjaan lain yaìtu yang di bidang IT itu tadi, kalau itu tidak ada mungkin dulu saya sudah sempat jual murah juga kali ya, hehehe… Tapi ternyata apa yang dikatakan orang itu benar. Dengan cara saya tidak pernah menjual murah seperti ini, saya menempatkan diri saya di suatu level tertentu.
Juga pada saat itu, tahun 2003, di Indonesia ini ada yang namanya fotografer.net. Itu adalah tempat berkumpulnya fotografer – fotografer, mulai dari yang baru belajar sampai yang sudah senior. Disanalah saya bertemu dengan teman-teman fotografer saya, dan kami membentuk komunitas.
Kalau ada yang datang ke Bali saya temenin, sekalian belajar dari mereka cara untuk menjadi profesional. Selain itu saya juga belajar hal-hal yang tidak disenangi klien dari fotografer, dan hai itu saya catat dan saya jadikan formula untuk saya menjadi fotografer nanti. Akhirnya saya coba, dari satu klien ke klien yang lain, dan ternyata mereka semua senang dengan hasilnya. Saya selalu minta kritik dan masukan dari mereka, hingga sampai saat ini.
Ngomong-ngomong apakah Anda memang sudah membekali diri dengan kamera dan alat-alat pendukung untuk pemotretan profesional di awal-awal karir Anda?
Wah, dulu alat saya minim sekali, karena kan mahal banget. Tapi dulu saya dibantu oleh teman saya, Pak Adrianto, pemilik Sosis Aroma. Beliau punya alat canggih-canggih. Sayangnya beliau sering beli tapi nggak pernah dipakai, dan bahkan kadang-kadang nggak tahu cara pakainya, hehehe… Malah justru kadang-kadang saya yang disuruh cobain alat-alatnya beliau. Jadi kadang kalau saya lagi ada kerjaan yang butuh alat-alat tersebut, saya sering pinjam ke Pak Adrianto dan beberapa teman lain, nggak pakai kamera sendiri. Tapi kalau dari klien ngelihatnya, “wah profesional banget ya orang ini alatnya canggih!”
Tapi dari sana kalau saya punya uang, saya sisihkan sedikit setiap kali sampai lama-lama terkumpul, kemudian saya beli kamera dan sebagainya untuk menambah alat-alat saya sendiri. Setiap ada pekerjaan yang membutuhkan alat tertentu, saya langsung nabung untuk beli alat tersebut. Nggak berani kredit, karena waktu itu kan pekerjaan masih belum menentu. Kalau sekarang, saya sih banyak dibantu oleh Canon. Saya sering bicara untuk Canon, sehingga saya sering dikasih kamera dan alat-alat dari Canon.
Kira-kira di tahun berapa bisnis fotografi Anda sudah bisa dikatakan benar-benar stabil?
Bisnis ini benar-benar sudah lengkap kira-kira sekitar tahun 2006. Sekitar tahun 2007, saya sudah mulai berani membayar pajak, dan tahun 2008 saya sudah mempunyai dua asisten. Sekarang, asisten saya sudah berjumlah sebelas orang. Nggak kerasa sih pertumbuhannya, soalnya prosesnya pelan-pelan. Sekarang saja, saya nggak tahu saya adadi level mana,yang penting saya jalani saja terus.
Hai apa saja yang harus diperhatikan oleh fotografer kalau ingin menjadi seorangyang profesional?
Fotografi itu adalah sebuah protesi yang sangat unik, karena bisa dibilang industri fotografi itu adalah art. Kalau fotografer yang memang untuk art, terserah dia kapan dia mau foto. Tapi kalau fotografer profesional yang komersial, kita harus pintar-pintar mengatur mood kita. Saya menyebutnya manajemen mood. Kadang-kadang kan, pasti ada perasaan jenuh dengan pekerjaan. Sebagai fotografer profesional yang baik, kita harus bisa mengatur mood kita itu, karena kalau mood kita jelek, akan sangat jelas terlihat di hasil fotonya. Apalagi ketika klien datang dengan konsep yang berbeda dengan konsep kita, disanalah kita harus belajar untuk mengontrol mood kita.
Lalu bagaimana cara mengontrol mood tersebut?
Kalau saya sih belajar mengontrol moodu dengan yoga dan meditasi. Sampai sekarang, saya masih belum menemukan cara lain yang lebih baik daripada itu.
Selain mood management, apakah ada lagi yang harus diperhatikan?
Satu lagi tentunya manajemen uang. Hal ini selalu menjadi masalah di bidang usaha manapun, tetapi untuk bidang fotografi itu sedìkit lebih susah, karena fotografi itu kan seni. Orang seni itu biasanya lebih mementingkan seni dibandingkan uang, jadi hai itu sudah bukan prioritas pertama lagi. Apalagi kalau punya uang dikit-dikit sudah ingin beli kamera lagi. Makanya saya menyerahkan masalah keuangan ke asisten dan istri saya. Saya lepas masalah itu, yang penting di dompet saya ada uang dan kalau saya swipe kartu kredit bisa, hehehe…
Bagaimana dengan manajemen waktu? Apakah hai itu juga penting untuk fotografer?
Sangat penting. Agar orang percaya dengan kita, kita harus bisa tepat waktu dalam segala hai. Mulai dari meeting, waktu photoshoot, dan editing. Kalau bilang sama klien selesai dalam tiga hari, ya harus selesai dalam tiga hari dan hasilnya harus akurat. Semakin akurat kita, semakin banyak klien yang senang. Setelah saya bertanya ke banyak orang, orang-orang senang fotografer yang cepat. Untuk melakukan hai ini, saya sampai harus merekrut tiga orang untuk mengedit foto-foto saya agar bisa memproses hasil photoshoot dengan cepat dan tepat waktu.
Bagaimana cara Anda menentukan harga untuk jasa fotografi Anda sendiri?
Pertama kali saya memasang harga, justru disarankan dari klien. Saya yang bertanya kalau pekerjaan seperti yang mereka minta kira-kira budget-nya berapa. Klien saya memberitahu saya harga yang mereka dapat dari fotografer yang lain, dan saya akhirnya memutuskan untuk menyamakannya saja. Dalam hati saya kaget juga, ternyata lumayan banyak.
Setelah itu, saya melihat kira-kira biaya saya untuk mengerjakan pekerjaan itu berapa, dan setelah itu saya mikirin di pasar kira-kira pekerjaan itu dihargain berapa sama orang-orang. Kemudian saya coba-coba saja, sih. Misalnya saya mengeluarkan satu angka di satu klien. Kalau klien tidak terlalu gampang
bilang iya tapi tetap setuju, berarti harganya pas. Kalau klien sudah langsung menyambar harganya dan setuju, nah, itu berarti kemurahan. Saya coba hai ini di beberapa tempat. Harga saya juga nggak gila-gila banget, kok. Kalau harga yang saya pasang sudah nggak kesentuh lagi sama pasar kan, saya cari kerjaan juga susah.
Dalam bidang fotografi, perlu tidak menggunakan strategi marketing?
Perlu sih, tetapi cara marketing-nya fotografer itu beda dan unik dibandingkan bidang usaha lainnya. Kalau untuk fotografer, cara marketing yang palingampuh itu ya dari mulut ke mulut. Karena fotografi itu artjadi itu melibatkan toste para klien. Hai
ini tidak bisa dikomunikasikan lewat iklan-iklan seperti misalnya iklan bank. Strategi marketing para fotografer itu lebih ke arah dari mulut ke mulut, bicara di suatu tempat atau acara, atau juga bisa ngeblog atau social media, misalnya saya foto dan setelah itu saya masukkan ke Instagram. Cara-cara ini lebih ampuh dibandingkan iklan.
Kami dengar Anda juga senang foto figur perempuan yang nu-de. Bisa tolong ceritakan sedikit?
Oh, iya. Jadi ceritanya saya itu memang senang dengan sculpture, patung yang nu-de itu. Saya mikir, kalau figur perempuan difoto nu-de seperti sculpture begitu bagus juga ya, seperti nu-de art. Jadi akhirnya saya coba sebagai personal project. Mungkin beritanya tersebar dari mulut ke mulut, akhirnya ada juga klien yang minta untuk difoto nu-de dan dia mau bayar, karena dia sudah lama mencari-cari fotografer yang bisa foto nu-de dan tentunya bisa dipercaya.
Saya pertama mengira bisnis nu-de photography itu bukan bidang yang menjanjikan, tapi ternyata banyak sekali yang berminat. Kliennya iokal ada, internasional pun ada. Kebanyakan ingin foto nu-de untuk koleksi pribadi. Sekarang, saya misalnya kerja seminggu empat kali atau lima kali, dua harinya saya memotret nu-de. Dari sana saya jadi mulai belajar anatomi tubuh juga, supaya tahu bagaimana cara memotret nu-de supaya hasilnya bagus.
Awalnya merasa risih nggak saat pertama kali melakukan photoshoot nu-de!
Untuk pertama kalinya pasti merasa aneh, ya. Tetapi saya sudah janji kok ke istri saya untuk tidak pernah foto nu-de sendiri. Saya harus ditemani oleh seorang asisten. Kalau klien tidak mau asisten laki-laki, saya juga punya asisten perempuan. Yang mengedit hasil foto yang nu-de juga bukan saya, tapi asisten saya yang perempuan.
Selain Dewandra Djelantik Photography ini, apa Anda punya usaha lainnya?
Sekarang saya punya asosiasi yang bernama Tree, berupa manajemen fotografi. Jadi saya mengajak teman-teman saya yang punya visi sama, dan saya kebetulan menjadi kepalanya. Semua pasar yang ada di Bali ini saya siapkan di dalam asosiasi ini. Contohnya, ada fotografer untuk perhiasan. Dia Jago sekali di dalam bidangfoto untuk perhiasan, tidak ada yang bisa menandingi dia di dalam bidang itu. Saya rekrut orangnya dan jika saya dapat klien yang meminta foto perhiasan, saya berikan pekerjaan itu ke dia. Ada juga yang khusus foto anak-anak, khusus foto binatang, dan macam-macam.
Kalau secara pribadi, styte fotografi Anda sejujurnya lebih mengarah ke seperti apa?
Nah, ini susahnya fotografer komersial. Kami nggak boleh punya style. Kami harus mengikuti klien maunya apa, jadi kerjanya by request. Kalau saya pribadi sih senangnya foto nature, tapi saya nggak boleh maksain. Sebagai seorangfotografer komersial saya harus bisa mengikuti pasar, walaupunjadinya nggak ada spesifikasi, tapi fotonya menjual dan informatif.
Apakah fotografer kita bisa bersaing dengan fotografer luar, karena banyak kasus di Bali dimana kaum ekspat malah justru cenderung menggunakan jasa fotografer asing ketimbang fotografer lokal sendiri.
Apa masalah sesungguhnya?
lya itu memangseringterjadi, biasanya untuk pemotretan fashion kebanyakan. Banyak teman-teman fotografer lokal yang kesal memang, namun mereka nggak bisa berbuat apa-apa, karena mereka tak mampu bersaing untuk itu. Hai itu yang sering saya singgung ke teman-teman saya, bahwa inilah kelemahan kita.
Jika kita tak senang orang-orang asing itu menjajah kita, meremehkan kita lagi, kita harus smart untuk menghadapi itu. Makanya, karena itu saya juga masuknya ke komunitas bule. Jadi setiap harinya, ya saya hanya beredar di komunitas itu saja, Saya foto di hotel itu, vila itu, restoran itu, otomatis ya saya ketemu orang-orang dari komunitas itu. Terkadang juga teman-teman di sini nggak mau belajar ya untuk melihat foto- foto di luar sana, mereka masih saja pakai patokan yang di dalam negeri. Nah itu kan kembali lagi kita harus bisa menyesuaikan dengan taste -nya klien yang notabene orang asing itu. Kita harus bisa membaca maunya mereka itu seperti apa. Kita bisa mulai dari membaca majalah-majalah luar, melihat tren yang sedang berkembang di dunia. Kita orang Indonesia juga dikenal pemalu, nggak suka banyak omong, mungkin ini juga yang membuat mereka underestimate ke kita. Tapi meski kita diam seperti itu, kita juga tetap harus bisa menunjukan kualitas kita sama mereka.
Bisa ceritakan mimpi atau cita-cita Anda yang belum terwujud?
Saya ingin membuat Bali menjadi sentral photography destination untuk orang-orang luar. Saya mau mengambil pasar untuk luar negeri, dan kita bikin coaching clinic untuk orang-orang yang mau belajar foto dan punya foto yang bagus di Bali. Jadi kita bikin satu sentral yang berisi guru-guru yang bisa mengajarkan fotografi ke mereka dan sekalian juga mengantarkan mereka keliling Bali. Cuma masalahnya, saya masih belum ketemu orang untuk mengatur ini. Kan, nggak mungkin saya yang anterin mereka keliling-keliling Bali.
Selain itu, saya juga ingin mengembalikan wibawa kampung saya Karangasem. Bukan mengembalikannya seperti kerajaan dulu, tapi sekedar mengembalikan wibawanya saja. Tapi untuk melakukan hai ini, saya harus mulai dari dalam dulu, yaitu dari orang-orangnya. Saya juga berusaha mengikuti usul Pak Hermawan waktu itu, yaitu untuk mencari orang-orang dari luar dan menempatkannya di Karangasem supaya mereka bisa memberikan sesuatu untuk Karangasem. Dan branding project untuk Karangasem itu sendiri baru mulai saya realisasikan.